Pagi sekali di hari Senin (12/3) saya di-sms oleh teman dari Sulawesi Utara. Isinya, perusahaan tambang PT Meares Soputan Mining berusaha menghalau beberapa wartawan televisi meliput kejadian banjir di Desa Rinondoran, Kabupaten Minahasa Utara. Ditulisnya pula, sekuriti perusahaan dan warga pro perusahaan mengancam wartawan jika terus meliput kejadian banjir tersebut.
Mengapa begitu heboh sekuriti perusahaan tambang memperlakukan wartawan? Rupanya ada yang luar biasa dengan banjir di hari minggu. Tak biasanya banjir yang disertai lumpur sekalipun membunuh ikan-ikan, termasuk belut hingga mengapung di permukaan air. Yang sering terjadi, ikan dan belut hanya terbawa ke hilir saat banjir. Warga di tempat saya tinggal di salah satu sudut Jakarta Selatan justru sibuk memancing belut tiap usai banjir. Kenapa ini justru ikan dan belut mati mengapung seperti kena racun ikan? Itu yang membuat warga curiga banjir yang terjadi ada kaitannya dengan aktivitas tambang PT MSM di hulu sungai yang juga menggunakan bahan kimia.
Malam hari pukul 23.45 saya baru bisa menyaksikan banjir Rinondoran di salah satu TV swasta. Cukup parah, air menggenang setinggi perut orang dewasa. Warga desa mengungsi karena rumahnya terendam. Mestinya mereka sedang khusuk beribadah tapi harus menyelamatkan diri dan harta miliknya dari terjangan air.
Seringnya banjir terjadi, hingga hampir jadi menu harian di musim hujan, membuat banjir Rinondoran terasa biasa. Tapi nanti dulu, cek punya cek ternyata Rinondoran dan sekitarnya bukan wilayah banjir. Dua kali banjir bandang menghantam sebagian besar Sulawesi Utara di tahun 2000 dan 2005, wilayah rinondoran tak tersentuh. Kenapa kini sama nasibnya dengan wilayah-wilayah langganan banjir?
Banjir terjadi saat volume air yang masuk ke suatu wilayah melebihi daya tampung tanah menyerapnya. Kelebihan air yang tidak mampu ditampung lalu mengalir searah gravitasi mencari titik terendah dan menggenangi wilayah sepanjang alirannya. Banjir menjadi indikasi ketidakmampuan kawasan resapan menjalankan fungsi pelindung bagi wilayah di bawahnya. Bisa karena curah hujan terlalu tinggi, atau berubahnya wilayah resapan yang membuatnya tak lagi mampu menampung hujan dalam jumlah yang sama.
Rinondoran berada di bawah kawasan Toka Tindung, calon wilayah pertambangan emas PT MSM. Saat ini di perbukitan Toka Tindung berlangsung kegiatan industri berat berupa pembangunan instalasi tambang emas. Berbagai aktivitas yang telah dan sedang berlangsung antara lain; pembangunan jalan, pembangunan pabrik, dan pembuatan dam-dam penampung air. Salah satu dam menurut warga luasnya 2 hektar dan dalamnya 20 meter.
Secara nalar, proyek ini sulit diterima karena perubahan bentang alam secara massif di wilayah resapan akan merusak siklus hidroorologi. Secara hukum, banyak peraturan telah ditabrak pengelola tambang untuk ekstraksi mineral di sana. Bagaimana mungkin perusahaan melakukan konstruksi sementara dokumen AMDAL yang sah belum ada. AMDAL PT MSM hingga saat ini belum disahkan oleh Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) tapi konstruksi tetap jalan karena perlindungan yang diberikan oleh Menteri ESDM. Menurut Bapak Menteri, *Toka Tindung (MSM) adalah satu dari 10 proyek yang harus segera didorong untuk berproduksi pada tahun ini*.
Pelanggaran lain yang dilakukan adalah terhadap Tata Ruang. Dalam Tata Ruang Wilayah Kota Bitung, Toka Tindung adalah kawasan lindung sehingga tidak boleh ada kegiatan yang mengubah bentang alam dan mengancam keselamatan manusia. Ini akibatnya ketika kawasan lindung dibabat dan diratakan maka bencana datang. Kasus serupa terjadi di lokasi tambang batubara PT Maruwai Coal di Kalimantan Tengah. Revisi tata ruang untuk mengakomodir penambangan batubara di kawasan lindung mengakibatkan banjir besar terjadi pada tahun berikutnya.
Jauh sebelum banjir terjadi, warga sudah memprotes kegiatan konstruksi MSM yang juga mengalihkan aliran sungai Maen untuk mendapatkan airnya guna mengolah bijih emas dan perak. Sangat mungkin, pemindahan aliran sungai bertentangan dengan arah aliran air sehingga saat hujan besar dan volume air meningkat terjadi luapan yang tidak terkendali. Tindakan gegabah yang menelan korban warga desa.
Kritik atas operasi MSM sudah sering dilontarkan oleh masyarakat maupun organisasi lingkungan hidup. Proyek ini sarat dengan resiko sehingga kalau diwujudkan, keselamatan warga menjadi taruhan. Banjir menjadi bukti bahwa AMDAL gagal merekam potensi kerusakan yang dikandung proyek Toka Tindung. AMDAL yang kini sedang dibahas tidak lebih dari lipstik yang mesti dipakai MSM agar citranya bagus dan mendapat kredit dari mana-mana. Sedikitpun ia tidak menjamin keamanan operasi tambang bagi warga dan lingkungan, karena memang bukan itu tujuan utamanya.
Masih banyak resiko lain yang tidak (atau tidak ingin) dibahas oleh AMDAL. Proyek Toka Tindung akan mengkonsumsi lebih dari 1 juta liter air per hari untuk mengolah emas sebanyak 140.000 ons tiap tahun. Apakah MSM akan membeli air sebanyak itu? Tentu tidak, sungai-sungai di kawasan Toka Tindung akan dijadikan pemasok kebutuhan air. Ini akan mengurangi secara drastis pasokan air bagi wilayah hilir. Warga di Kecamatan Likupang akan mengalami krisis air untuk kebutuhan domestik dan irigasi.
MSM juga akan memasang ’bom waktu’ dengan menempatkan tailing dam dan timbunan limbah batuan yang mencapai volume 20 juta ton di perbukitan Toka Tindung. Padahal, Sulawesi Utara rawan sekali gempa. Akhir Januari lalu gempa 5,7 skala Richter mengguncang Manado dan sekitarnya. Bagaimana bila episentrum gempa berada di dekat Rinondoran? Mungkin gempa Solok dengan kekuatan .... skala Richter baru-baru ini bisa jadi pembanding. * Air Danau Singkarak meluap setinggi 10 meter* setelah diguncang gempa yang menewaskan lebih dari 60 orang. Konstruksi tailing dam yang sering retak dan jebol tidak akan mampu menahan goncangan akibat gempa. Di seluruh dunia saja terdapat *221 kecelakaan tailing dam akibat faktor alam (gempa dan cuaca buruk (badai, hujan lebat) dan human error*.
Bahaya gempa dan bencana alam lainnya bukan karangan atau paranoid. Tahun lalu *tambang Rapu-rapu di Filipina dihantam badai yang mengakibatkan tumpahnya limbah dari tailing dam*. Di Indonesia, *tahun 2003 Danau Wanagon tempat Freeport membuang batuan limbah jebol karena kelebihan muatan dan mengakibatkan banjir lumpur dan batu yang menelan korban jiwa warga setempat*.
Banjir Rinondoran menjadi pengingat para pengampu AMDAL dan penentu kebijakan proyek Toka Tindung untuk melakukan analisis resiko secara jujur sesuai keahlian mereka. Jika diabaikan, banjir ini menjadi awal dari serangkaian bencana yang di kemudian hari akan melanda seluruh kawasan pesisir yang terdiri dari desa-desa Rinondoran, Batuputih, Kalinaun, Pulisan, dll. Para penentu kebijakan yang dimaksud adalah sindikasi bank-bank multinasional yang mendanai proyek ini, sama sekali bukan pemerintah Indonesia. Mereka itu adalah ANZ, Societe Generale, West LB, dan Rotschild & Sons.
Mereka mesti paham bahwa ke depan proyek ini akan mendulang resiko pelanggaran hak hidup dan perusakan lingkungan yang dapat mencemarkan reputasi bank di mata para nasabahnya. Banjir hanya satu dari serangkaian resiko yang akan menodai investasi mereka. Gugatan hukum atau penghentian operasi bisa menjadi resiko yang menghadang di tahun-tahun mendatang.
Pemerhati masalah pertambangan, sedang menekuni manajemen resiko