Monday, August 14, 2006

YANG DISEMBUNYIKAN DARI PROPAGANDA ENERGI BERSIH


Harian Bisnis Indonesia edisi tanggal 15 Agustus 2005 segmen EKSPLORASI memuat berita berjudul " Samsung akan investasi Rp1 triliun ". Kalimat selanjutnya dari judul di atas sebagai berikut, .... Perusahaan elektronik raksasa Korea Selatan, Samsung akan investasi di bidang pengembangan energi bahan bakar nabati (BBN) senilai Rp1 triliun untuk 200.000 hektare lahan.

Bagi yang rajin, atau paling tidak agak sering baca koran, tiap hari kita hampir tidak pernah tidak dijejali berita tentang biofuel, atau bahan bakar nabati. Baik itu seputar rencana investasi, kebijakan pemerintah, periset dan elesem yang mendukung pemakaian biofuel, maupun orang yang hanya sekedar ikut nimbrung obrolan bahan bakar nabati yang konon ramah lingkungan ini. Tapi apa benar ia akan ramah terhadap lingkungan? Pertanyaan kritis begini jarang muncul di tengah harapan publik yang membuncah akan bahan bakar murah, bersih, dan tersedia melimpah.

Kita mungkin tidak terkesan oleh satu kalimat yang sepertinya gampang diucapkan meskipun di dalamnya sarat masalah dan konflik. Ada 200 ribu hektar lahan yang mesti dikonversi untuk jadi lahan penyedia bahan bakar nabati. Membicarakan lahan sngat enteng bagi investor, dan juga pemerintah. Tapi, lahan mana lagi di negeri ini yang kosong, lahan mana yg lagi diomongin? Hutankah, pemukiman kah, kebun milik si A kah? tidak pernah menjadi soal. Yang penting kasi ganti-rugi, diganti tetap rugi karena nilainya selalu ditekan.

Semua lahan sudah jadi konflik karena pemerintah seenaknya saja menetapkan kebun orang, wilayah adat, jadi konsesi tambang, sawit, dan HPH. Lapindo Brantas adalah contoh sembrono-nya menempatkan operasi industri ekstraktif di tengah-tengah pemukiman padat dan kawsan industri. Kalau sudah begini baru nyahok, orang kasih kritik katanya memperumit masalah, mana solusimu? memang membicarakan solusi atas resiko selalu jadi urutan buncit. Artinya, perusahaan tidak menerapkan risk management sehingga muncul kasus yg tidak tertangani seperti ini.

Kembali soal lahan, kalau pemerintah dan investor bicara lahan, harap baca: BERAPA ORANG HARUS DISINGKIRKAN, BERAPA HEKTAR HUTAN HARUS DITEBANG, BERAPA KALI PENINGKATAN RESIKO BANJIR, LONGSOR AKAN MENINGKAT KARENA PERUBAHAN WATERSHED?

Mari tengok rencana-rencana terpasang, sejuta hektar lebih hutan di perbatasan Kalimantan dan Malaysia akan dikonversi jadi kebun sawit, salah satunya biodiesel. Peralihan sumber bahan bakar dari BB fosil ke BB nabati jelas menyisakan banyak masalah yg selama ini tidak pernah dibuka, SANGAT KHAS OBROLAN INVESTASI DAN PROYEK, propaganda-nya dulu, resiko nomor 29!

Masalah no 2, memangnya biofuel yang katanya bisa diproduksi dari tanaman jarak/jatropha akan dijual murah?? Ini petanyaaan sederhana yg mesti dikedepankan saat ada pejabat lokal maupun nasional, atau investor bicara soal bahan bakar nabati! Beberapa waktu lalu Pertamina dari wilayah Jawa Timur menyatakan segera memasarkan BB nabati untuk wilayah jawa timur, harga untuk 1 liter solar Rp 4.500. Pabrik-pabrrik lain pun sama, apalagi yg sekelas premium pasti lebih mahal. Sama dengan bensin yg dijual Shell dan Petronas.

Pertanyaaannya: Mana Bahan Bakar Murah untuk Rakyat yang konon negerinya kaya sumber bahan bakar???? Mau jarak kek, sawit kek, algae kek, kalau tetap mahal apa artinya...

Padahal, katanya BB Nabati ini untuk mengalihkan ketergantungan dari minyak bumi yg harganya fluktuatif dan sering bikin APBN bengkak. Lha kalau bahan bakar nabati di pasar domestik aja harganya selangit apa ini menjawab masalah?? Apa rakyat bisa menjangkau?? Apa rakyat cuma disuruh makan propaganda energi bersih? kalau energi bersih tapi kurang gizi ya hasilnya tetap BUSUNG LAPAR !!!

Jarang ada yg mengkritisi apa karakter khas tanaman jarak (Jatropha) dan dampak ekologis dan sosial-nya jika diintroduksi secara massal? Jarak adalah tanaman perdu, kalau ia ditanam di hutan lantas kemana fungsi hutannya akan dialihkan, bagaimana dengan tata air setempat yang terganggu karena konversi. Keragaman hayati juga pasti minggat dari lahan yang monokultur.

Penanaman jarak secara massal juga dikabarkan memakai lahan-lahan pangan produktif rakyat, alasannya demi meminimalkan konversi hutan (propagandanya melibatkan national geographic dan kompas, jatropha tour). Akan banyak lahan-lahan produksi pangan yang dikonversi jadi lahan penyedia energi yg katanya ramah lingkungan. Sudah tentu implikasinya produksi pangan kita akan turun, artinya kita makin jauh dari swasembada pangan. Kedaulatan pangan menjadi hal yg makin mustahil. Yang ada, kita akan makin tergantung pada beras impor, terigu impor, jagung impor, daging sapi impor, semuanya impor...akhirnya impor kita akan makin tinggi sementra ekspor segitu-gitu aja, yang naik pesat mungkin ekspor TKW karena desa dan sektor pertanian sudah tidak menjanjikan penghidupan yg layak.

Terakhir, berita ini cuma muat 1 investor diantara ratusan lainnya baik yang skalanya nasional, daerah, multinasional seperti Caltex dan BP, bisa dibayangkan berapa juta hektar lahan pangan dan hutan akan dikorbankan demi sebuah propaganda, ENERGI BERSIH....

salam

No comments:

just a phase

just a phase

Articles Archive