Tuesday, August 15, 2006

Investing Dirty

How Large International Banks and Investment Funds Impoverish Local Community


Anda tentu tidak asing dengan bencana Lapindo Brantas? Pengeboran minyak/gas yang menyebabkan menyemburnya Lumpur hingga membanjiri pemukiman dan lahan produktif milik rakyat. Ribuan orang terpaksa mengungsi dan kehilangan harta benda akibat kecelakaan tersebut. Belum lagi pendidikan anak-anak yang terganggu akibat bencana ini. Kerugian secara makro tentu jauh lebih besar dan meluas sifatnya.

Ketika rakyat menuai bencana, para CEO perusahaan tambang sedang menikmati hidup mewah di perumahan elit, mengendarai mobil sport mewah, berkeliling lapangan golf, dan menghambur-hamburkan uang di restoran dan hotel paling mahal di dunia. Hal ini pun berlaku untuk para investor, broker investasi, dan bankir-bankir yang menginvestasikan uangnya ke dalam proyek tambang tertentu. Mereka hidup berkelimpahan, mendapat bonus penghasilan teramat lumayan tiap tahunnya, sementara rakyat di sekitar proyek tambang berjuang sekuat tenaga hanya untuk bertahan hidup. Jika selama ini perusahaan atau pemerintah selalu menjadi sasaran kemarahan rakyat maupun LSM karena dampak usahanya merugikan, maka para bankir dan pialang investasi tetap aman dalam menjalankan bisnisnya. Mereka seolah bukan orang yang ikut bertanggungjawab atas terjadinya musibah akibat operasi tambang. Padahal, mereka adalah salah satu penentu berlangsung atau gagalnya operasi tambang di suatu negara oleh sebuah perusahaan. Tanpa investasi dan kredit yang mereka kucurkan, mustahil perusahaan mampu membiayaai sendiri kegaitan survey, eksplorasi, hingga produksi. Mereka juga mestinya dimintai pertanggungjawaban karena telah membuat investasi yang menyengsarakan kehidupan warga sekitar proyek. Jika teguran dan protes tidak juga mengubah kebijakan investasinya, maka mereka juga layak digugat secara hukum atas kontribusinya terhadap investasi kotor yang merusak.

Para bank dan perusahaan investasi tersebut sebenarnya telah mengikatkan diri pada berbagai komitmen utnuk invesatasi yang bertanggung jawab seccara sosial maupun leingkungan. Namun, pada pelaksanaannya, mereka tidak akan bertindak tegas terhadap perusahaan utuk benar-benar memathui perjanjian kredit/investasi jjika tidak ada desakan dari pihak ketiga. Ini karena dalam logika ekonmi, orang berinvestasi hanya memikirkan pengembalian uang dan keuntugnan, serta ada muatan untuk berkontribusi terhadap pengembangan masyarkaat A. Dengan demikian, jika berita tentang pencemaran atau protes tidak begitu mempengaruhi kredibilitas mereka maka hal tersebut tidak akan mendapat perhatian cukup. Walaupun, mereka terikat oleh prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan sepeti Equator Principle, UNEPFI, GlobalCompact, dan masih banyak lagi. Prinsip-prinsip tersebut misalnya melarang peminjam (perusahaan tambang) untuk melakukan penggusuran, kekerasan, dan pemindahan paksa orang dari tempat tinggalnya. Dalam bidang lingkungan, perusahaan wajib memiliki AMDAL yang disusun dengan proses yang partisipatif dan melibatkan seluruh komponen masyarakat yang potensial terkena dampak.

Nyatanya yang kita saksikan hari ini di hampir semua proyek tambang tejadi hal demikian; penggusuran dan pengusiran, ganti rugi tanah tidak dibayar atau dibayar sangat murah, kekerasan dan intimidasi oleh aparrat, preman, dan milisi sipil. Dalam penyusunan AMDAL, perusahaan rata-rata bermain secara sembunyi-sembunyi, mengundang hanya orang yang setuju dengan proyek, tidak menjelaskan resiko tambang secara transparan. Hal inipun telah menyalahi perjanjian investasi /kredit yang dibuat antara perusahaan dan bank. Jika mempertimbangkan hal ini maka tidak satupun proyek tambang di Indoonesia ini dapat dikatakan layak secara lingkungan dan social utnuk mendapat kucuran kredit, investasi, dan asuransi dari bank dan lembaga investasi. Investasi yang mereka kucurkan justru merupakan picu yang mengubah resiko-resiko karena pengabaian dan penyelewengan benar-benar menjadi bencana di kemudian hari.

Di lokasi-lokasi tambang, mata pencaharian warga musnah karena direnggutnya sumber produksi seperti tanah pertanian dan kekayaan alam lain seperti hasil hutan, kebun. Sumber air yang menjadi kebutuhan dasar setiap hajat yang hidup menjadi media yang dirusak industri tambang dari dua sisi. Pertama, operasi tambang (apalagi emas) memakan habis cadangan air suatu wilayah utnuk pengolahan bijih emas. Dari model yang dibuat berdasar opersai tambang PT Barisan ropikal Mining, untuk menghasilkan 1 gram emas diperlukan 104 liter air. Jika dalam 1 tahun perusahaan menghasilkan 100.000 ons emas (50 juta gram) maka volume air setempat yang diserap industri tambang sebesar 5.200.000.000,- liter.

Kedua, badan air merupakan media pembuangan limbah paling murah dan mudah yang selalu dipilih oleh perusahaan. Dengan jalan atau metode pembuangan limbah apapun, akhirnya limbah tambang merusak badan air. Pembuangan langsung ke sungai seperti di PT Freeport terbukti merusak sungai Ajkwa. Pembuangan ke laut merusak ekosistem laut. Pembuangan ke darat dengan kolam (dam) tailing hanya asesoris agar perusahaan kelihatan lebih sopan. Pada kenyataannya tailing sering meluap ke sungai. Bahkan tidak jarang perusahaan membuat saluran khusus dari tailing dam ke sungai terdekat agar ketika hujan deras, volume tailing yang naik dapat dialirkan ke sungai. Ini taktik untuk menghindari luapan tailing ke darat yang menarik perhatian masyarkat dan media massa, serta utnuk menghindari resiko jebolnya dam karena tekanan berlebih.

Sudah saatnya, para investor di negeri ini dituntut untuk bertanggung jawab tidak hanya kepada KAPITAL, tetapi juga terhadap masyarakat di sekitarnya, termasuk kepada lingkungan yang juga jadi hak generasi mendatang. Hal lain, pemerintah sudah harus berhenti menyembah-nyembah investor sebagai dewa penyelamat. Selama ini kontribusi mereka hanya dinilai dari investasi capital-nya saja, coba kalau bencana dan kerugian rakyatnya juga dihitung. Bisa jadi, resultante-nya negative.

Tuntutan investor asing tentang kepastian hokum di Indonesia yang dinilai lemah justru terbalik. Jaminan kepastian hokum untuk rakyat lah yang selama ini tidak ada. Ketika ada proyek masuk, rakyat harus menyingkir kalau tidak mau berhadpaan dengan aparat. Ketika proyek berlangsung, rakyat harus rela hidup kekurangan karena sumber dayanya dikuras orang lain. Sementara, ketika proyek berakhir, mereka hanya ditinggali lahan gersang atau bolong yang tidak lagi bisa ditanami karena beracun.

Itulah yang harus menjadi catatan bagi semua pelaku investasi, khususnya di sector sumber daya alam. Negara dan pengusaha wajib memastikan bahwa investasinya tidak merusak dan memiskinkan warga setempat. Mereka masih berhutang banyak terhadap rakyat dan lingkungan, serta generasi masa depan. Masih pantaskah untuk selalu meminta insentif, mengeluhkan kepastian hukum? Mana jaminan perlindungan untuk rakyat?

No comments:

just a phase

just a phase

Articles Archive