Thursday, March 22, 2007

Rinondoran, apa lagi setelah banjir?

Adi Widyanto1


Pagi sekali di hari Senin (12/3) saya di-sms oleh teman dari Sulawesi Utara. Isinya, perusahaan tambang PT Meares Soputan Mining berusaha menghalau beberapa wartawan televisi meliput kejadian banjir di Desa Rinondoran, Kabupaten Minahasa Utara. Ditulisnya pula, sekuriti perusahaan dan warga pro perusahaan mengancam wartawan jika terus meliput kejadian banjir tersebut.


Mengapa begitu heboh sekuriti perusahaan tambang memperlakukan wartawan? Rupanya ada yang luar biasa dengan banjir di hari minggu. Tak biasanya banjir yang disertai lumpur sekalipun membunuh ikan-ikan, termasuk belut hingga mengapung di permukaan air. Yang sering terjadi, ikan dan belut hanya terbawa ke hilir saat banjir. Warga di tempat saya tinggal di salah satu sudut Jakarta Selatan justru sibuk memancing belut tiap usai banjir. Kenapa ini justru ikan dan belut mati mengapung seperti kena racun ikan? Itu yang membuat warga curiga banjir yang terjadi ada kaitannya dengan aktivitas tambang PT MSM di hulu sungai yang juga menggunakan bahan kimia.


Malam hari pukul 23.45 saya baru bisa menyaksikan banjir Rinondoran di salah satu TV swasta. Cukup parah, air menggenang setinggi perut orang dewasa. Warga desa mengungsi karena rumahnya terendam. Mestinya mereka sedang khusuk beribadah tapi harus menyelamatkan diri dan harta miliknya dari terjangan air.


Seringnya banjir terjadi, hingga hampir jadi menu harian di musim hujan, membuat banjir Rinondoran terasa biasa. Tapi nanti dulu, cek punya cek ternyata Rinondoran dan sekitarnya bukan wilayah banjir. Dua kali banjir bandang menghantam sebagian besar Sulawesi Utara di tahun 2000 dan 2005, wilayah rinondoran tak tersentuh. Kenapa kini sama nasibnya dengan wilayah-wilayah langganan banjir?


Banjir terjadi saat volume air yang masuk ke suatu wilayah melebihi daya tampung tanah menyerapnya. Kelebihan air yang tidak mampu ditampung lalu mengalir searah gravitasi mencari titik terendah dan menggenangi wilayah sepanjang alirannya. Banjir menjadi indikasi ketidakmampuan kawasan resapan menjalankan fungsi pelindung bagi wilayah di bawahnya. Bisa karena curah hujan terlalu tinggi, atau berubahnya wilayah resapan yang membuatnya tak lagi mampu menampung hujan dalam jumlah yang sama.


Rinondoran berada di bawah kawasan Toka Tindung, calon wilayah pertambangan emas PT MSM. Saat ini di perbukitan Toka Tindung berlangsung kegiatan industri berat berupa pembangunan instalasi tambang emas. Berbagai aktivitas yang telah dan sedang berlangsung antara lain; pembangunan jalan, pembangunan pabrik, dan pembuatan dam-dam penampung air. Salah satu dam menurut warga luasnya 2 hektar dan dalamnya 20 meter.


Secara nalar, proyek ini sulit diterima karena perubahan bentang alam secara massif di wilayah resapan akan merusak siklus hidroorologi. Secara hukum, banyak peraturan telah ditabrak pengelola tambang untuk ekstraksi mineral di sana. Bagaimana mungkin perusahaan melakukan konstruksi sementara dokumen AMDAL yang sah belum ada. AMDAL PT MSM hingga saat ini belum disahkan oleh Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) tapi konstruksi tetap jalan karena perlindungan yang diberikan oleh Menteri ESDM. Menurut Bapak Menteri, *Toka Tindung (MSM) adalah satu dari 10 proyek yang harus segera didorong untuk berproduksi pada tahun ini*.


Pelanggaran lain yang dilakukan adalah terhadap Tata Ruang. Dalam Tata Ruang Wilayah Kota Bitung, Toka Tindung adalah kawasan lindung sehingga tidak boleh ada kegiatan yang mengubah bentang alam dan mengancam keselamatan manusia. Ini akibatnya ketika kawasan lindung dibabat dan diratakan maka bencana datang. Kasus serupa terjadi di lokasi tambang batubara PT Maruwai Coal di Kalimantan Tengah. Revisi tata ruang untuk mengakomodir penambangan batubara di kawasan lindung mengakibatkan banjir besar terjadi pada tahun berikutnya.


Jauh sebelum banjir terjadi, warga sudah memprotes kegiatan konstruksi MSM yang juga mengalihkan aliran sungai Maen untuk mendapatkan airnya guna mengolah bijih emas dan perak. Sangat mungkin, pemindahan aliran sungai bertentangan dengan arah aliran air sehingga saat hujan besar dan volume air meningkat terjadi luapan yang tidak terkendali. Tindakan gegabah yang menelan korban warga desa.


Kritik atas operasi MSM sudah sering dilontarkan oleh masyarakat maupun organisasi lingkungan hidup. Proyek ini sarat dengan resiko sehingga kalau diwujudkan, keselamatan warga menjadi taruhan. Banjir menjadi bukti bahwa AMDAL gagal merekam potensi kerusakan yang dikandung proyek Toka Tindung. AMDAL yang kini sedang dibahas tidak lebih dari lipstik yang mesti dipakai MSM agar citranya bagus dan mendapat kredit dari mana-mana. Sedikitpun ia tidak menjamin keamanan operasi tambang bagi warga dan lingkungan, karena memang bukan itu tujuan utamanya.


Masih banyak resiko lain yang tidak (atau tidak ingin) dibahas oleh AMDAL. Proyek Toka Tindung akan mengkonsumsi lebih dari 1 juta liter air per hari untuk mengolah emas sebanyak 140.000 ons tiap tahun. Apakah MSM akan membeli air sebanyak itu? Tentu tidak, sungai-sungai di kawasan Toka Tindung akan dijadikan pemasok kebutuhan air. Ini akan mengurangi secara drastis pasokan air bagi wilayah hilir. Warga di Kecamatan Likupang akan mengalami krisis air untuk kebutuhan domestik dan irigasi.


MSM juga akan memasang ’bom waktu’ dengan menempatkan tailing dam dan timbunan limbah batuan yang mencapai volume 20 juta ton di perbukitan Toka Tindung. Padahal, Sulawesi Utara rawan sekali gempa. Akhir Januari lalu gempa 5,7 skala Richter mengguncang Manado dan sekitarnya. Bagaimana bila episentrum gempa berada di dekat Rinondoran? Mungkin gempa Solok dengan kekuatan .... skala Richter baru-baru ini bisa jadi pembanding. * Air Danau Singkarak meluap setinggi 10 meter* setelah diguncang gempa yang menewaskan lebih dari 60 orang. Konstruksi tailing dam yang sering retak dan jebol tidak akan mampu menahan goncangan akibat gempa. Di seluruh dunia saja terdapat *221 kecelakaan tailing dam akibat faktor alam (gempa dan cuaca buruk (badai, hujan lebat) dan human error*.


Bahaya gempa dan bencana alam lainnya bukan karangan atau paranoid. Tahun lalu *tambang Rapu-rapu di Filipina dihantam badai yang mengakibatkan tumpahnya limbah dari tailing dam*. Di Indonesia, *tahun 2003 Danau Wanagon tempat Freeport membuang batuan limbah jebol karena kelebihan muatan dan mengakibatkan banjir lumpur dan batu yang menelan korban jiwa warga setempat*.


Banjir Rinondoran menjadi pengingat para pengampu AMDAL dan penentu kebijakan proyek Toka Tindung untuk melakukan analisis resiko secara jujur sesuai keahlian mereka. Jika diabaikan, banjir ini menjadi awal dari serangkaian bencana yang di kemudian hari akan melanda seluruh kawasan pesisir yang terdiri dari desa-desa Rinondoran, Batuputih, Kalinaun, Pulisan, dll. Para penentu kebijakan yang dimaksud adalah sindikasi bank-bank multinasional yang mendanai proyek ini, sama sekali bukan pemerintah Indonesia. Mereka itu adalah ANZ, Societe Generale, West LB, dan Rotschild & Sons.


Mereka mesti paham bahwa ke depan proyek ini akan mendulang resiko pelanggaran hak hidup dan perusakan lingkungan yang dapat mencemarkan reputasi bank di mata para nasabahnya. Banjir hanya satu dari serangkaian resiko yang akan menodai investasi mereka. Gugatan hukum atau penghentian operasi bisa menjadi resiko yang menghadang di tahun-tahun mendatang.

  1. Pemerhati masalah pertambangan, sedang menekuni manajemen resiko

Friday, February 16, 2007

Mining Association Rejected the Change from Contract of Work to License



The Indonesian Mining Association (IMA) reaffirmed its rejection of the intended change from the Contract of Work (CoW) scheme to the license/permit scheme as stipulated in the drafted Mineral & Mining Law. The reason behind this rejection is that with the CoW system, investors have better access to project financing due to the equal rights of both the investor and the government. The statement was stated during The Australian Mining & Petroleum Exhibition 2007 in Jakarta by the end of January 2007.

What is hoped by IMA as representation of large mining corporations, almost all are foreign companies, doesn't actually appeared within the statement. Asked about what mining firm wants more than anything from the upcoming new mining law, Australian senior trade commissioner Rod Morehouse answered that it is the "predictability".

"We want predictability. If something is predictable, we know the risks we will be taking. If you don't have predictability, your business is not going to move forward," Australian senior trade commissioner Rod Morehouse told The Jakarta Post on Tuesday.

In no basis have the chairman stated that the permit scheme will not be bankable because the one that is expected by financiers is not the equal position between the government and corporation, but legal certainty and returns. As long as this business gives them profit and their rights as investors are guaranteed they will not be troubled.

All financial institutions will understand that the host government representing the entire citizen should have more power over the country's natural resources. This is a provision of international law on natural resources that has been widely accepted. It's certainly a set back if IMA does not acknowledge such principle yet.

The reason behind intention to sustain the CoW scheme is likely to further maintain the power of corporations over the government. Very often, Indonesian government fails to take firm action against company's violation of environmental law and human rights on fears that company would sue the government through international arbitration which is acknowledged under CoW.

" The government has conducted an amendment to the law in its effort to add value to the country's mining production." Said IMA chairman Arif Siregar who is also CEO of INCO Indonesia.

However, the mining sector of the country that is dominated by foreign actors has so far failed to contribute significantly to the national income. It only contributes less than 5 percent to the total GDP of the country during the period 0f 2001-2006. Not really surprising is the figure because the rate of metal royalty received by the country is only between 1-3% for gold, silver, copper, and tin. Most of the revenues went to the the foreign corporations.

The other cause is because most of mineral products from Indonesia were explorted abroad as raw material. It's therefore lack of significant added value created by mining sector in the host country. This sector has certainly failed to boost the industrialization in Indonesia. The country was then left only as digging zone of raw material exported to developed countries.

JATAM's land use database confirms that Indonesia is undoubtedly just a digging zone as the large scale multinational mining corporations occupy the more than 60 million hectares of land throughout the archipelago. This figure is equal with more than 30 percent of the country's land area making it the biggest concession followed then by timber and large plantation.

Arief also highlighted the lack of coordination between the Energy & Mineral Resources Dept., Environmental Dept and Forestry Dept.

"We don't want all these departments to draw individual taxes from the mining companies. Tax should be collected by the technical department, which is the Energy & Mineral Resources Dept., without any interventions," he said.

This is so typical of mining indsutry which always request incentives and exemption, including to be allowed to mine in the protected forest using destructive open pit technique. Aside from rejecting the tax applied for cutting the forest, mining association also reject the obligation to provide replacement land to be forested. IMA even stated that it will challenge the Forestry Act that bans open pit mining in protected forest.

The Australian Mining & Petroleum Exhibition 2007 that presented speakers from the industry, executives and government officials aimed to find a momentum to improve the mining industry in Indonesia and at the same time to promote Australia's capability in servicing the mining and petroleum industry, according to Andrew Wilson, the President Director of PT BHP Billiton Indonesia.

Australia indeed has so many things 'to do' with the Indonesian administration since most of the new mining projects in Indonesia operated by Australian corporations. There are ten new projects in which seven of them led by Australian corporations i.e; Agincourt, Oropa, Pelsart, MM Gold, Newcrest, BHP Billiton, and Archipelago. Those projects are backed by financial institutions from Australia such as ANZ, Macquaire Bank, National Australia Bank, Commonwealth Bank, and Westpac Banking. BHP is the one that hardly possible to resume operation at its Gag Island nickel concession near Papua. The majority of the island is covered by protected forest so that makes it impossible to carry out open pit nickel mining.

(adapted from various sources by widyantoa)

North Sulawesi Governor opposes Toka Tindung gold project



The North Sulawesi Provincial Government has opposed the operation of PT Meares Soputan Mining (MSM) who operates Toka Tindung gold mine in North Minahasa regency fearing that the company's mining activities would damage the environment.

Speaking during a hearing with the House of Representative (DPR) last weeek, North Sulawesi Governor Sinyo Harry Sarundajang said that his office had formally sent a letter to the State Minister of Environment to convey the local government's decision to reject the environmental impact analysts (AMDAL). With the rejection of the AMDAL documents, the company would not be able to continue its operation.

Sarundajang said that the AMDAL documents which had won approval from the Jakarta environmental authority were not significant enough to protect the environment around the company's mining site which is located near the Likupang marine conservation area and the protected Tangkoko forest area.

"We are not against foreign investors but the people needs environmentally friendly investment," he told the hearing. He said that based on the local government's study, the company's mining waste disposable system had the potency to destroy the important species in the marine and forest conservation areas.

Sarundajang was insulted by most of lawmakers attending the hearing but he convinced them that this decision has been thoroughly discussed. He asserted that the project will threaten the adjacent Tangkoko Nature Reserve, Likupang beach, and marine tourism spot knowned in international diving community as Marine Biodiversity Triangle.

JATAM's investigation revealed that the project posses huge risk to local water supply as it plans to consume more than a million liters of water each day for its gold processing. Not to mention, water needed for silver processing, workers' drinking, and waste management.

The other risk of this project is regarding with safety issue. Toka tindung project is located on hilly area where thousands of people live downhill. The placement of large tailing dam, open pit mine, and waste rock dumping in area prones to volcanic and tectonic earthquakes will put the lives of the poeple in danger. Just recently on January 23, 2007, North Sulawesi hit by earthquake at 5.7 on Richter scale. Last year in November, the neighboring mount Soputan erupted and poured million cubic of lava and dust, and caused earthquake. Worldwide, there are 221 incidents of tailing dam failure caused by nature (earthquake, storm, heavy rain) and human error.

In its resurgence after taken over from Aurora Gold in 2002, Toka Tindung project received massive opposition since early 2006 by thousands of fisherfolk and tourism community fearing the mine's pollution to their livelihood. This project is backed by 4 large international banks, i.e: NM Rotchilds & Sons (UK), West LB (Germany), ANZ (Australia), and Societe Generale (France). Those banks are bound with several multilateral commitment aiming to implement the sustainable development principles within project financing such as the Equator Principles and the UN Financial Institutions Statement on Sustainable Development. However in fact, they invested their money in project that will demolish local environment and put an end to thousands of people's livelihoods.

(adapted from various sources by widyantoa)

Tuesday, February 06, 2007

Jakarta flood and poor DM



For the last 6 days, Jakarta has turned out into extra large pond where people swim all over it finding relief. Unexpectedly, it turns to be the biggest jakarta flood disaster over time, exceeding the previously most devastating 2002 flood. People thought it would just like the last year flood, water wouldn't go higher than 1 meter. Sadly, the authorities apparently think the same way; barely, no preparedness or mitigation for such a disaster. No wonder if the flood leaves (actually will still have) enormous material and immaterial loss; infrastructures collapsed, houses broken down, and 29 died so far.

Many has pointed fingers to the development of catchment area around Bogor and Puncak of West Java as source of the problem. Construction of many villas and hotels over there has been reducing the capacity of water retention. Not only hotels, but also housing, realestate, highway and shopping malls have shrinked the land for water retention. Not only Bogor and Puncak, but also Jakarta itself...too many open spaces have been converted into area for commercial use. Yet, the discussion about cause is enough, everybody knows that for sure that there's something wrong with the way policy makers think and act: " you pay the price, I make the law ". That simply describes the relationship between authorities and business. I'm now willing to look at disaster preparedness approaches supposed to be put in place on a flood prone area like Jakarta.

Recent flood with all its aftermaths marks the uncapability of Bakornas (national bureau for disaster management), provincial government of Jakarta, and the people in dealing with the flood disaster and carrying out rescue and relief operation. The first mistake was shown when weather report from BMG (Meteorology & Geophysics Bureau) did not responded by Bakornas to prepare for the worst. It is clear that there wasn't early warning system put in place following weather report. There was no alarm message made public by the bureau to get the people ready for any flood. The cost is high...aside from many has died, most people lost their belongings like house equipments, electronics, and clothings swept or damage by water.

Apparently, inside the bureau had not yet prepared for any events of catastrophe. There's information, but there's no early action. As a result, the day after heavy rainfall, people struggled themselves to escape strong waved water flooded their residences. Boats, ropes, and skilful rescue team were needed everywhere on friday (feb 2nd). But the bureau had only deployed 4 persons with only 1 boat at nearly all places in average, some even left without help.

(picture taken from Kompas daily)

Reading the site report of the Bakornas re flood mitigation, it is clear that the rescue operation and equipments deployed are still far from enough. The comparison between the number of sub-districts inundated by flood and the number of rubber boats deployed for evacuating people is so unequal. There are 58 districts inundated by water, but only 284 boats deployed, meaning only 4-5 boats for each subdistrict. In fact, there are many residence blocks in each subdistrict. This made the presence of this rescue team & boat barely just accessory, not really helpful.

What about the evacuation point? There are only 158 shelter tents available for a total of 191,300 persons displaced during the recent flood. By design, each shelter meant to accommodate 1210 persons, nonsense! Nobody knows well where to take refuge
because evacuation points are not available near each flooded block. Even an evacuation point near Ciliwung river inundated by further overflow. Funny, the rescue team didn't know where the safe place was. This simply tells us that Bakornas have no scenario for flood mitigation and rescue.

Now, look at the staple supplies provided for 191,300 refugees:
• 3,000 pieces of sarong
• 2,000 pieces of blanket
• 5,000 instant noodle
• 1,000 pieces of women dress
• 1,000 pieces of T shirt
• 1,000 pieces of long material (for women)
• 1,000 pieces of uniform (for boys)
• 1,000 pieces of uniform (for girls)
• 150 packages of baby clothing
• 150 packages of family kits
(data available from Bakornas' site report on Feb. 4, 2007)

No one would say it's enough. Many people at evacuation camps started getting sick, there are even asthma patients died during evacuation after bearing cold air for days.

Jakarta has a long history of flood since early of 1900s. Geologists knows well that some parts of Jakarta prone to flood. In the last one decade, floods in Jakarta have been increasing in volume. The 2002 flood used to be regarded as the biggest one leaving many experiences for disaster management (DM). Everyone, especially authorities, should learn much from the 2002 flood that took more than 20 lives.

Disaster Management doesn't focus on the eradication of problem source. It emphasizes on managing the best approach to reduce the impact of a disaster; loss of lives, properties, and facilities. The best and the shortest way believed is to educate people how to cope with the catastrophe; knowing their environment well and knowing the way to stay alive during the catastrophe, and to involve them in the management of disaster. This is the foundation that build the so called preparedness.

A Well prepared communities are less vulnurable than those who aren't well prepared. They will not lose many compared to unprepared one because they fully aware of living in the disaster prone area and is therefore know well what to do first when flood is coming. If they must relocate, they know the safe place to stay during the flood. Community who applies disaster management well knows how to stay healthy in their evacuation point and not getting sick because fulfillment of their basic needs have arranged far before. They have learned much from the previous experiences.

In the case of recent Jakarta flood we see no signs of preparedness at all; people were panic, rescue team were unable to take care all of them, and no evacuation points were prepared. The rescue operation was so disorganized. They didn't even predict the communication between field operatives and headquarters would be troubled by cellular network shut down. One rescue team member said they almost entirely rely the communication on cellular phones. How sad...this is the picture of community that are not prepared for a disaster event.

A proper disaster management should cover the early warning system (EWS), the evacuation/rescue, and relief operation with all resources needed. The all three parts are all vital to sustain survivors' lives. In the recent flood, we've seen the absence of EWS, the rescue-evacuation was so inadequate and so lack of proper equipments. Now, the relief operation without well-planned design has created its own problem, survivors fought themselves for foods, some are left without aid, or the food distribution point is far to reach by survivors. If the rain still to come in the upcoming days (BMG forecasted rainy days will last until end of february), it'll be really tough for survivors to cope with this situation.

Just recently, the breaking news reported a 60 year old female died after having fever for last several days during her stay at relocation camp. It's ironic that survivors already distant from flood are still vulnerable to hazards at evacuation camp. Proper tents, foods, medics, dry and warm clothings should have been prepared at evacuation camps located on safe and accessible places. Jakarta indeed needs a special design for flood management (mitigation). Poor flood management will only contribute to more and more loss.

Disaster management however not only the domain of the authorities. People must participate in the DM. Community that depend their lives only on others' help is vulnerable to unpredicted situation such as absence of aid or rescuers. The well educated community will make rescue and relief operation runs smoother and therefore will reduce the number of lost of lives and hazards at evacuation camps. It's obvious that proper disaster mitigation is called for to free the people from flood hazards that has worsened due to conversion of catchment/retention area, deforestation, and global warming.

If only, all hand in hand to tackle this matter and leave behind any interests that keep us away from preparedness...it's been too many disasters; floods, landslides, mudflow, train, ship and aircraft accidents...cape' dee...!

Monday, February 05, 2007

Citarik Rafting and the Irony of Java Forest



Saturday morning is the day that maybe all the asiasource II participants have waited for the last one week. It was the outing day, we went out for fun. There were 3 destinations; Citarik river rafting, Mangga 2 Plaza, and the Tangkuban Perahu volcano. Most chose the Tangkuban Perahu volcano, only 11 went for rafting.

Although still located in Sukabumi district, the trip to Citarik River took more than an hour long because it went through the mountainous part of Sukabumi with steep and narrow road. Along the way there are plantations of rice, banana, corn, vegetables, etc. But the one that amazed me is the oil palm plantation. It’s quite rare to find oil palm in this narrow island with extremely high population number. Who has established such plantations in the island where most farmers are landless?

The landless phenomenon was rooted in the colonial age when farmers in Java lost most of their lands during implementation of land rent policy. They couldn’t afford the rent and therefore must give up the lands to Dutch colonist. After Indonesia proclaimed independence in 1945, those lands are never given back to the owners but were claimed by state-forestry enterprise for establishing timber plantations. That happened before the agrarian reform can be implemented because the 1965 coup kicked out the ruling government from power to do that.

The replacement regime was far from having effort to implement the land redistribution program. Around 3 million hectares of productive lands in Java were exploited by enterprise to produce logs and leave thousands of original owners along the island being landless and impoverished. That constitutes the major root of tenurial conflict between peasants and the enterprise (state) that last until today.

Back to oil palm drama, emergence of plantations has something to do with the newly launched government policy to promote the use of biofuel. The policy has been translated into massive conversion of productive food plantations and tropical forest to build oil palm and jatropha (the source of biofuel) plantations around the archipelago. Does this mean the Indonesians will enjoy clean and cheap energy? Not at all, it launched after the liberalization of energy sector which marked by the opening of downstream energy business for foreign enterprises. The locally extracted fuel has then been priced ‘internationally’ and fuels price raised up to over 90 percent by average in 2005.

That’s exactly what the English scholar George Monbiot feared when he criticized some european countries’ policy to replace the use of fossil fuel with biofuel back in 2003. The opening of biofuel market in the west means massive conversion of rainforest and agricultural lands in Southeast Asia countries. Indonesia captured this ‘opportunity’ by signing MoU with Malaysia to grab 20 percent of biofuel market of the European Union.

At around ten, we arrived at Arus Liar Rafting Resort. There are also other groups of visitors who wanted to raft Citarik river. After had a short break we were transferred to the starting point uphill by vehicle where our guides prepared the boats. Only 4 people allowed for each boat because the water is low. I was with Dirk and Yolynne, guided by Rochmad, local youth working as rafting guide with Arus Liar.

Soon after our boat left the starting point, Rochmad begun yelling general commands for this water sport; forward…backward…overleft…..overright…. This young man had to work very hard not just to keep the boat stable, but also to pull it out every time it stuck on rocks.

Boom….oh it’s too late, one already fell out of boat after it jumped over big stream. Don’t worry, no injuries…it’s totally safe, man.

Later on, we had a quiet stream. That means the water is deep. Rochmad told us to jump into the water and swim. Unfortunately, the water is not clear, its dark brown, meaning that the runoff is so high.

It used to be didn’t like this when River Citarik was opened for the first time in Indonesia for rafting in 1995. It used to be deep and clear. That was the time when most of the forests in Java are still well maintained. The quality and quantity of river water depends so much on the state of the forest.

It was the 1998 massive protest that forced the 32 year long dictator General Suharto stepped down brought significant change in the forestry sector. Many uses term reform as “ taking back what has long been stolen “. Peasants cut and sold timbers from production forest as they believe that the power had been regained.

Unfortunately, this euphoria has shifted to rampant illegal logging since timber barons took part to grab the big cash. Almost all of forest area in Java suffered this rampant logging, including Halimun National Park, the water catchment area for Citarik River. A national newspaper reported in 2002 that the water of Citarik has been reduced while the turbidity is increasing due to deforestation at Halimun National Park.

The threat to the park is increasing as Indonesia-Australia controlled Austindo Resources plans to construct open-pit gold mine inside the park late this year with credit facility from ANZ Banking Group. Million tons of landmass will be removed from earth to create tens hectare wide mine pit. That means tens hectares of forest will also be cleared and will subsequently affect the river systems sourced from the park.

As many rafters had confirmed, the future of ecotourism business such as rafting which relies entirely upon the nature services will be badly affected by deforestation. The income source of locals working as rafting guide is being put in danger by forest exploitation. The long hard way effort to build a community-based ecotourism will be useless when the nature no longer functions as it was. No tourists willing to do rafting and the tourism business will just end for the community.

The other young guide desperately commented, “ It used to be the government who support the opening of tourism here, but why can’t they take any measure to save the future of this business upon which we rely our lives. Why didn’t they protect the forest from those massive destructions?

(this article was written during the Asiasource 2 training camp at Yawitra Resort, Sukabumi, West Java, 22-30 January 2006)

Thursday, January 25, 2007

Bolivia is ready to nationalize mining industry

01/19/2007

RIO DE JANEIRO, Brazil (Reuters) -- Bolivian President Evo Morales said
Friday he will move ahead with plans to nationalize the country's mining
sector following last year's move to take over its oil and natural gas
industries.

Morales, speaking to reporters at a summit of presidents of the Mercosur
trade bloc in Rio de Janeiro, said his government was studying carefully
details of the plan. It would not be a blank nationalization of the
whole mining sector, he said.

"Where the companies have invested, they will get special treatment so
that they can recover their investments. But, where there weren't
investments by these companies, those will be nationalized," Morales
said.

He declined to mention any other possible sectors that may be
nationalized and gave no further details on the mining plans.

Morales nationalized Bolivia's energy industry in May 2006, and
officials repeatedly have said they wanted to reform the mining industry
and were considering tax increases.

In October, Morales appeared to back away from a similar nationalization
for the dilapidated mining sector, postponing major reforms until 2007
due to a lack of funds.

Copyright 2007 Reuters.

National Geographic is hand in hand with mining corporation

National Geographic is hand in hand with mining corporation to screen a film that has misleading information about environmental NGOs?
Looks like it is. See, message below....

--------------

Dear colleagues,

Mine Your Own Business, an anti-environmenal film about mining is showing tomorrow evening at National Geographic. The film was paid for
by Gabriel Resources, a Canadian mining company that is trying to
develop an open-pit gold mine in Rosia Montana, Romania.

The mine is strongly opposed in Romania, and the film has been strongly
criticized by NGOs familiar with the Rosia Montana project. The
president of the local association opposing the mine was never
interviewed by the filmmakers, but he has sent us a message to
distribute.

Please join us tomorrow outside National Geographic at 6pm to help pass
out flyers!

We'll be at the corner of 17th & M Street NW in Washington DC.

Tuesday, August 22, 2006

Bougainville

Tambang, Kolonialisme, dan Kerusakan Lingkungan*


Bougainville, adalah sebuah pulau di lautan Pasifik yang memiliki kekayaan sumber daya alam melimpah seperti pada umumnya Negara-negara di wilayah beriklim tropis. Selain kaya akan sumber daya alam hayati, Bougainville memiliki kekayaan bahan tambang luar biasa sehingga menarik minat perusahaan Australia Conzinc Rio Tinto CRA), anak perusahaan Rio Tinto Group yang berbasis di Inggris, mengeksploitasi tembaga sejak 1972. Kisah penjajahan dan penjarahan kekayaan alam Bougainville berakar dari masa kolonialisme bangsa-bangsa Eropa abad 17.

Sejarah Bougainville

Pulau Bougainville merupakan bagian dari Kepulauan Solomon namun akhirnya dijadikan bagian dari negara Papua Nugini (PNG) meskipun rakyatnya secara budaya maupun asal-usul berbeda dengan rakyat Papua Nugini. Rakyat Bougainville lebih dekat secara kultural maupun keturunan dengan penduduk kepulauan Solomon. Bougainville hanya berjarak tidak lebih dari 8 kilometer dari garis pantai negara Kepulauan Solomon namun 500 kilometer jauhnya dari PNG.

Secara historis, penyatuan Bougainville dengan Papua Nugini tidak lebih dari ”perkawinan paksa” yang dilakukan oleh Inggris dan Jerman pada abad ke 19 untuk menyepakati pembagian wilayah jajahan diantara dua negara di kawasan Pasifik. Ketika meletus perang dunia I tahun 1918, Jerman kalah dan kehilangan sebagian besar koloninya di Pasifik yang kemudian jatuh ke pihak Inggris dan sekutunya. Bougainville sendiri ada di bawah kolonialisme Inggris dan Australia.

Penjajahan atas teritori dan rakyat Bougainville dimulai pada abad 19 ketika para penjual budak dari Australia datang ke Bougainville dan membawa orang-orang Bougainville menjadi budak di perkebunan tebu Queensland dan perkebunan kelapa di Fiji dan Samoa. Ketika berlangsung perang dunia II, Bougainville menjadi medan pertempuran antara pasukan Sekutu melawan Jepang. Banyak rakyat Bougainville terbunuh selama perang Sekutu-Jepang. Tapi, setelah perang berakhir Bougainville tetap belum menikmati kemerdekaannya dan kembali harus menjadi koloni Australia yang tidak pernah bertanya kepada rakyat Bougainville apakah mereka ingin menjadi bagian dari Papua Nugini. Rakyat Bougainville selalu mempertanyakan apa hak dan kedaulatan Australia untuk mempermainkan hak dan masa depan rakyat Bougainville.

Eksploitasi tambang

Menurut Havini (1985), penjarahan kekayaan alam pulau Bougainville secara besar-besaran dipelopori oleh CRA, anak perusahaan Cozinc Rio Tinto (Australia). Perusahaan inilah yang membuka tambang tembaga Panguna pada tahun 1972 dan memiliki 53% sahamnya, sementara 20% lainnya dimiliki pemerintah PNG. Namun, sejarah penemuan bahan tambang di Bougainville sebenarnya berawal di tahun 1929 pada saat kolonialisme Australia atas PNG dan Bougainville makin menguat. Pemerintah kolonial Australia memberi hak istimewa kepada para pemburu emas menjelajahi gunung, hutan, dan laut untuk memetakan kekayaan mineral pulau Bougainville. Ini mirip dengan tambang Grasberg di Papua Barat yang ditemukan ketika Indonesia masih di era penjajahan.

Semua emas dan bahan tambang yang dikeruk dari PNG dan Bougainville praktis dibawa keluar dari wilayah itu dan rakyat Bougainville tidak pernah memetik keuntungan sedikit pun darinya. Mereka justru hidup secara agraris dan mampu mencukupi kebutuhannya sendiri. Namun setelah tambang beroperasi, kerusakan lingkungan mulai berdampak pada pertanian mereka.

Kerusakan lingkungan dan penghidupan, membuat warga pulau berjuang menentang perusahaan hingga 17 tahun lamanya. Lewat aksi protes dan lobby, masyarakat Bougainville akhirnya memaksa CRA tutup pada 1989. Namun, Pemerintah Papua Nugini justru mengirimkan tentara bayaran untuk memblokade pulau Bougainville dari dunia luar, termasuk kebutuhan hidup sehari-hari. Memulai kehidupan dari titik nadir, kembali ke alam menjadi pilihan penduduk Bouganiville dibanding menerima kembalinya perusahaan. Mereka justru belajar kembali hidup dari alam, memanfaatkan semua sumber daya yang ada di sekitar untuk memproduksi sendiri bahan makanan, obat-obatan, bahkan pembangkit listrik. Lewat kemampuannya meneruskan hidup di tengah blokade, masyarakat pulau Bougainville mengajarkan tentang adanya sebuah alternatif untuk mengatasi ketergantungan kita pada ekonomi pasar bebas.

Cerita penguasaan bahan tambang pulau Bougainville tidak banyak berbeda dengan operasi pertambangan yang lain. Banyak contoh dimana operasi tambang dimulai dengan penaklukan wilayah serta konflik yang memaksa penduduk setempat mengungsi menjauhi konflik. Sementara, ketika mereka pulang setelah konflik berakhir, tanah-tanahnya sudah dikuasai perusahaan asing.

Selain di Bougainville, hal ini juga terjadi di kepulauan Maluku ketika dua perusahaan tambang asing beroperasi. Dalam Aditjondro (2006) disebutkan konflik antar komunitas di Pulau Halmahera dan Haruku disusul oleh masuknya maskapai-maskapai pertambangan bermodal asing, yaitu Newcrest (Australia) dan Ingold (Kanada). Modus operasi pertambangan yang dikuasai modal asing pada umumnya hanya memberi keuntungan pada si maskapai sedangkan rakyat setempat tetap disisihkan. Hal inilah yang menjadi benih-benih terjadinya konflik akibat direnggutnya kekayaan alam dari masyarakat yang mendiami wilayahnya sejak lama.

Sumber mineral, apakah akan menjadi berkah atau membawa petaka dan memecah belah bangsa? Saat ini semuanya terpulang pada wakil rakyat yang tengah membahas RUU Minerba. Semoga pembahasan RUU ini dilandasi tekad yang luhur dan keberpihakan pada rakyat Indonesia.

Pustaka:

1. Aditjondro (2006). Ketika Petani Angkat Bicara, dengan Suara dan Massa.

2. Havini (1985). Bougainville: The Long Struggle for Freedom.

* Disampaikan pada acara Nonton Film dan Diskusi “Evergreen Island” bersama anggota Pansus RUU Pertambangan Mineral dan Batubara, 23 Agustus 2006

Wednesday, August 16, 2006

Quo Vadis Konservasi Bahan Tambang?


Pemerintah, dalam hal ini Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mentargetkan adanya wilayah-wilayah Indonesia dijadikan area pencadangan bahan tambang mineral dan batubara. Kebijakan ini akan diusulkan untuk dimuat dalam Rancangan Undang-undang Mineral dan Batubara yang sedang dibahas di DPR.[1] Ide untuk mencadangkan sebagian kekayaan tambang aset nasional menjadi cadangan untuk masa depan sebenarnya bagus. Namun, disayangkan ide ini hanya manis di atas kertas, sementara pelaksanaannya sendiri sangat terlambat dan rawan terjadi penyelewengan di sana-sini.

Mengapa terlambat? Mestinya sejak dulu pemerintah telah mencadangkan area untuk konservasi bahan tambang karena sumber daya yang satu ini tidak dapat diperbarui sehingga pemakaiannya tidak boleh diboroskan untuk saat ini saja. Namun yang terjadi selama hampir empat dasawarsa, bahan mineral diobral habis. Perijinan tambang sangat banyak dan sangat mudah dikeluarkan oleh Departemen ESDM (dulu Dep. Pertambangan dan Energi). Hingga saat ini, tidak kurang dari 800 ijin pertambangan tersebar merata di berbagai pulau di seluruh Nusantara dan luas totalnya mencakup sepertiga luas daratan Indonesia, atau sejumlah 66 juta hektar. Ini adalah tanda bahwa negara telah menghambur-hamburkan sumber daya mineral dengan pemberian ijin yang tanpa kendali.

Pemborosan itu makin kentara dilihat dari pendapatan yang disumbangkan sektor tambang. Selama ini sektor pertambangan hanya menyumbang antara 1 sampai 3 persen APBN, sangat kecil dibandingkan dengan luasannya yang mencapai sepertiga daratan Indonesia. Mengapa demikian? Selama ini produksi mineral mentah dari Indonesia diarahkan untuk memenuhi tujuan ekspor ke negara-negara utara. Eksploitasi yang digenjot habis menyebabkan Indonesia menduduki peringkat kedua penghasil timah terbesar di dunia, menyumbang kebutuhan dunia akan emas sebanyak 6%, perak 2%, tembaga 8%, dan nikel 12%. Bahkan untuk nikel (FeNi) Indonesia mengekspor hampir 100% produksinya untuk pasar internasional.

Ekspor mineral mentah menyebabkan Indonesia tidak menerima banyak profit dari usaha tambang. Negara-negara maju secara tidak adil memberlakukan proteksi impor bahan tambang yang membuat negara-negara berkembang tidak dapat mengembangkan industri hilirnya. Mereka menetapkan bea masuk yang tinggi untuk barang jadi atau setengah jadi berbahan dasar mineral, sementara bahan mentahnya dikenai tarif nol persen.[2] Dengan konstelasi perdagangan internasional sedemikian timpang, sebenarnya Indonesia tidak layak ikut ambil bagian dalam mineral rush yang ujung-ujungnya tetap merugikan negara berkembang. Di sinilah pentingnya konservasi bahan tambang dilakukan sejak dini untuk menghindari pemborosan lewat penjualan bahan tambang secara murah meriah.

Pada sisi lain, konservasi bahan tambang menjadi sulit dilakukan karena kita tidak tahu berapa sebenarnya sisa bahan tambang (mineral) yang masih dimiliki negara dan tidak dikuasai perusahaan asing. Selama ini ESDM tidak pernah mempublikasikan berapa cadangan emas, tembaga, nikel, batubara dan bahan tambang lainnya yang tersisa. Apakah jumlahnya masih cukup signifikan? Atau jangan-jangan sudah tidak ada lagi yang tersisa karena semuanya sudah dikapling oleh konsesi yang ratusan jumlahnya.

Kita perlu mengingat lagi, sejak tahun 1999 hingga kini masih ada 150 perusahaan yang konsesinya berada di Hutan Lindung seluas 11 juta hektar. Ijin-ijin tersebut rata-rata statusnya suspend karena alasan tumpang tindih dengan kawasan hutan dan belum ekonomisnya harga mineral waktu itu. Dapat diasumsikan bahwa deposit mineral yang ada di luar kawasan konservasi dan hutan lindung sudah tidak ada lagi, sehingga yang tersisa adalah kawasan hutan. Jika pemerintah ingin mengkonservasi bahan tambang, mestinya 150 ijin tersebut dibekukan karena secara ekologi resikonya terlalu besar sehingga dengan teknologi yang ada saat ini belum layak dieksploitasi. Lebih baik deposit-deposit itu dicadangkan untuk generasi mendatang dan jika telah ada teknologi yang aman secara lingkungan.

Niatan ESDM ini juga diragukan hanya menjadi lips service alias propaganda belaka. Bagaimana mungkin ESDM menawarkan konsep konservasi sementara pada saat yang sama juga menyiapkan keluarnya satu Kontrak Karya (KK) baru yang rencananya akan dinamai KK Generasi VII+. Ide mengeluarkan KK baru sangat bertolak belakang dengan konsep konservasi bahan tambang. Mengeluarkan KK baru berarti kembali menghambur-hamburkan barang tambang untuk keuntungan yang tidak seberapa dibanding kerusakan lingkungan dan habisnya cadangan mineral untuk masa depan. Oleh karena itu, sangat diragukan retorika ESDM ini diilihami oleh semangat untuk kepentingan bangsa dan rakyat.

Di sisi lain, rencana mengeluarkan KK pada bulan September ini mengkhianati semangat yang sedang dibangun dalam pembahasan RUU Minerba yang ingin melakukan perbaikan kinerja pengelolaan sektor tambang selama ini. Sedangkan berapa jumlah total cadangan mineral kita saja EDSM tidak pernah mempublikasikan (atau jangan-jangan belum pernah menghitung) kenapa akan mengeluarkan KK baru?

Terakhir, konservasi bahan tambang yang dimaksud oleh ESDM ini sebenarnya untuk siapa, untuk rakyat, perusahaan asing, atau untuk siapa? Kita memiliki cukup banyak pengalaman dengan kontradiksi kawasan konservasi. Sebuah kawasan konservasi seperti taman nasional haram untuk dimasuki oleh masyarakat lokal meskipun mereka sudah puluhan tahun tinggal di sekitarnya. Menjadi ironi tatkala perusahaan tambang kemudian dengan mudahnya mendapat rekomendasi pemerintah untuk mengacak-acak kawasan konservasi dengan alasan melakukan survei. Kata konservasi menjadi punya standar ganda; ketat untuk rakyat biasa, tapi bisa dibuat longgar untuk masuknya investasi.

DPR, masyarakat, dan para peneliti perlu jeli membaca istilah Konservasi yang disampaikan jajaran petinggi ESDM. Jangan sampai pola konservasi ala Taman Nasional yang dianut oleh RUU Minerba nantinya, haram ditambang oleh rakyat, tapi sah kalau ditambang oleh multinational mining corporations. Jika ESDM sendiri belum benar-benar kritis mengupas konsep yang diajukannya, bisa jadi ini ‚bisikan’ para mining investor yang melihat kurang bersahabatnya iklim investasi tambang saat ini. Karena itu strategi yang dikedepankan adalah konservasi bahan tambang untuk operasi tambang skala besar yang notabene selalu melibatkan para TNCs pertambangan.



[1] Pemerintah Tetapkan Area Cadangan Bahan Tambang. Bisnis Indonesia, 10 Juli 2006

[2] Investing in Destruction. Oxfam America. 2003

Catatan Kritis untuk Rencana Kontrak Karya Generasi VII+


Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dalam beberapa kali kesempatan menyatakan akan mengeluarkan Kontrak Karya baru yang dinamai Kontrak Karya (KK) Generasi VII+. Jika benar, ini akan menjadi kontrak karya pertama yang dikeluarkan pemerintah sejak tahun 1986. Kontrak Karya terakhir yang dikeluarkan adalah KK Generasi VII yang memberi konsesi pertambangan kepada 38 perusahaan asing berpatungan (Joint Venture) dengan perusahaan nasional, baik BUMN maupun swasta.

Kalangan swasta pertambangan baik domestik maupun luar negeri tentu menyambut baik sinyal pemerintah yang nampaknya akan benar-benar membidani sektor pertambangan yang dianggap kurang sehat akhir-akhir ini. Sementara itu, bagi rakyat petani, pelaut, dan masyarakat yang tinggal di tepi dan dalam hutan, berita ini ibarat angin Bohorok yang mungkin membuat mereka harus mengungsi.

Sungguh sulit dimengerti argumentasi pemerintah akan mengeluarkan kontrak karya pertambangan baru. Padahal, kontrak-kontrak yang lama dan belum berakhir sudah banyak menimbulkan masalah yang tidak kunjung terselesaikan. Sebut saja kasus Freeport, Nemwont, INCO, Indomuro, Kelian, dan masih banyak lagi. Belum pula proyek tambang yang baru mulai namun sudah menimbulkan keresahan dan protes meluas di kalangan rakyat banyak seperti proyek tambang Toka Tindung (Sulut), Sihayo (Sumut), Martabe-Agincourt (Sumut).

Sedangkan, proyek tambang yang terkatung-katung dan tidak jelas keberlanjutannya tidak pernah dipikirkan lagi oleh departemen ESDM. Tercatat paling tidak ada 3 konsesi tambang bertaraf Kontrak Karya yang saat ini terhenti, yaitu Natarang Mining (Lampung), Pelsart Tambang Kencana (Kalsel), dan Gag Nickel (Papua). Natarang dan Pelsart diduga bangkrut karena tidak ada publikasi sama sekali mengenai pemegang sahamnya, sementara pergerakan sahamnya di pasar modal juga berhenti. Pemerintah mestinya membekukan kontrak-kontrak yang mandek ini dan tidak membiarkannya mengambang daripada menimbulkan potensi konflik lahan dengan masyarakat atau sektor lain seperti Kehutanan dan Pertanian. Ketiganya adalah perusahaan yang tidak diperbolehkan menambang terbuka di hutan lindung menurut Putusan Mahkamah Konstitusi atas Judicial Review UU No 19/2004.

Di sisi lain dalam soal kebijakan masih ada masalah yang belum tuntas soal perijinan tambang dan sekarang sedang dibahas di Pansus DPR tentang RUU Pertambangan Umum dan Batubara (Minerba). Diskusi di DPR berkembang ke arah pergantian rejim Kontrak Karya menjadi perijinan karena dengan begitu posisi pemerintah lebih tinggi dibanding perusahaan. Ini merupakan evaluasi dari kekurangan KK yang menempatkan pemerintah sejajar dengan perusahaan (asing) sehingga pemerintah sering dibuat repot ketika harus memberikan sanksi kepada perusahaan. Pemerintah tidak berani menggugat perusahaan yang melanggar hukum karena takut dibawa ke arbitrase akibat dianggap mencederai isi KK.

Patut diduga, perusahaan-perusahaan tambang multinasional berlomba-lomba melobby pemerintah agar segera mengeluarkan KK supaya mereka terhindar dari kemungkinan berlakunya rejim perijinan yang baru. Saat ini setidaknya ada empat perusahaan yang nampaknya bakal mendapatkan KK generasi VII+. Mereka itu diantaranya Rio Tinto, raksasa pertambangan yang bermarkas di Inggris dan Australia, akan mendapatkan konsesi di Sulawesi Tenggara, berikutnya adalah Southern-Arch Mineral (Indotan) perusahaan Kanada yang sedang melakukan survei di Pulau Sumbawa, serta Austindo Resources dan Straits Resources di Pulau Jawa.

Pemerintah sekali lagi terbukti lebih mendengarkan keluhan para investor tambang dan Negara-negara utara yang menghendaki agar sumber daya mineral Indonesia dieksploitasi habis-habisan. Sebelumnya, pemerintah pernah mengabulkan ‘rengekan’ perusahaan tambang agar merelakan 1 juta hektar hutan lindung dan taman nasional dibuka untuk pertambangan walaupun itu dilakukan secara inkonstitusional dengan mengamandemen UU Kehutanan No 41 tahun 1999. Kabarnya, pemerintah pun sedang didesak untuk mengeluarkan tailing (Lumpur limbah tambang) dari Peraturan tentang Pengelolaan Limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun). Implikasi inisiatif ini sangat serius, tailing yang mengandung racun logam berat akan bebas dibuang ke badan air seperti danau, sungai, dan laut.

KK generasi VII+ jika jadi dikeluarkan akan semakin menambah panjang masalah tumpang tindih lahan yang terjadi selama ini. Tahun 2000, setidaknya ada 150 konsesi tambang yang tumpang tindih dengan 11 juta hektar hutan lindung dan taman nasional di seluruh Indonesia yang belakangan menjadi sengketa antara sektor Pertambangan dan Kehutanan dan diselesaikan di Mahkamah Konstitusi (MK).[1] Namun demikian, Putusan MK tersebut keluar ketika baru 13 konsesi yang waktu itu sudah masuk tahap konstruksi atau produksi. Sementara sebagian besar konsesi lainnya pada waktu itu dalam posisi suspend karena harga komoditi mineral yang belum menguntungkan. Saat ini, dengan momentum naiknya harga emas dan nikel dunia yang membawa keberuntungan bagi banyak industri tambang sepanjang tahun 2005, dipastikan proyek-proyek tersebut akan segera aktif dan menambah hiruk pikuk masalah tumpang tindih lahan. Lahirnya KK Generasi VII+ karenanya akan memperburuk persoalan ini, dan lagi-lagi sektor Kehutanan, Pertanian, Perikanan, dan Pariwisata akan dikalahkan untuk memberi jalan masuk bagi proyek tambang.

Catatan kritis berikutnya adalah perbandingan antara manfaat dan kerugian akibat operasi tambang masih jadi perdebatan serius di semua stakeholder dan belum mencapai kata sepakat. Adanya keinginan kuat untuk merombak KK Freeport adalah contoh bahwa distribusi keuntungan suatu proyek tambang kepada perusahaan dan pemilik sahamnya, pemerintah pusat dan daerah, serta masyarakat tidaklah seimbang. Perusahaan dan para investornya memperoleh sebagian besar keuntungan sementara pemerintah hanya diberi pajak serta royalty 1 persen. Padahal, dampak kerusakan lingkungan serius yang ditinggalkan perusahaan akhirnya menjadi beban bagi pemerintah daerah dan masyarakat local.

Perusahaan tambang juga belum mampu membuktikan bahwa ekonomi tambang memiliki nilai tambah signifikan terhadap perekonomian lokal. Daya serap industri tambang atas angkatan kerja secara nasional baru sebesar 0,04 persen.[2] Kontribusi ini jauh lebih kecil dari pada sektor Kehutanan dan Pertanian serta Manufaktur. Yang sering dijumpai di lokasi pertambangan justru terjadinya pemiskinan masyarakat setempat karena sumber-sumber dan alat produksi ekonominya dirampas atau dirusak oleh operasi tambang. Masyarakat lokal kehilangan sumber penghidupan karena tempat mencari ikan dicemari, sawah dan kebun digusur, serta dilarang masuk ke hutan yang sejak dahulu telah dikelola secara turun temurun.

Bagi pemerintah Indonesia sendiri, yang terpenting saat ini adalah membenahi sektor tambang agar bisa dijalankan tanpa mengorbankan keselamatan rakyat dan lingkungan serta memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian negara. Patut menjadi catatan bahwa minimnya kontribusi sektor tambang disebabkan sebagian besar produksi mineral dieksport dalam bentuk bahan mentah seperti emas, nikel, timah, boksit, dan batubara. Oleh karena itu secara nasional kontribusi sektor tambang terhadap pendapatan negara hanya 4 persen pada tahun 2005.[3] Padahal produksi nasional dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan dari tahun 1994 hingga 2005.

Sebagai contoh, nikel dari PT INCO diekspor dalam bentuk mentah ke negara-negara pembelinya seperti Jepang, Korea, dan negara-negara Eropa. Dengan jalan yang sama, Timah yang dihasilkan PT Freeport hanya diolah menjadi konsentrat di Gresik, sedang proses pemurnian selanjutnya dikirim ke negara-negara industri maju yang merupakan pembelinya. Ini membuktikan bahwa setelah hampir 40 tahun indonesia mengelola sektor tambang ternyata tidak mampu mengembangkan industri hilir berbahan baku mineral yang mantap. Ini yang menyebabkan sektor tambang tidak memberikan value added yang nyata buat ekonomi nasional. Tidak ada penciptaan peluang ekonomi baru dan tidak ada penyerapan tenaga kerja dari industri-industri berbahan dasar mineral.

Hal di atas diperburuk dengan adanya mekanisme proteksionisme negara-negara indsutri maju di Eropa atas barang impor berbahan dasar mineral/logam. Untuk mineral mentah (tidak diolah) rata-rata negara-negara Eropa memberikan pungutan impor nol persen, atau tidak ada sama sekali. Sementara untuk produk logam atau barang setengah jadi dikenakan bea impor hingga belasan persen. Rejim inilah yang mesti dibaca cermat oleh para teknokrat Indonesia bahwa kalau kita hanya mengikuti pesanan negara maju, selamanya Indonesia hanya akan jadi wilayah pengerukan. Tanpa perubahan drastis dan mendasar, kemiskinan dan kerusakan lingkungan akan selamanya menjadi wajah sektor pertambangan kita.***



[1] www.jatam.org

[2] BPS, Juli 2006

[3] BPS Februari 2006 dan Bank Indonesia (www.bi.go.id)

just a phase

just a phase

Articles Archive