Wednesday, August 16, 2006

Catatan Kritis untuk Rencana Kontrak Karya Generasi VII+


Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dalam beberapa kali kesempatan menyatakan akan mengeluarkan Kontrak Karya baru yang dinamai Kontrak Karya (KK) Generasi VII+. Jika benar, ini akan menjadi kontrak karya pertama yang dikeluarkan pemerintah sejak tahun 1986. Kontrak Karya terakhir yang dikeluarkan adalah KK Generasi VII yang memberi konsesi pertambangan kepada 38 perusahaan asing berpatungan (Joint Venture) dengan perusahaan nasional, baik BUMN maupun swasta.

Kalangan swasta pertambangan baik domestik maupun luar negeri tentu menyambut baik sinyal pemerintah yang nampaknya akan benar-benar membidani sektor pertambangan yang dianggap kurang sehat akhir-akhir ini. Sementara itu, bagi rakyat petani, pelaut, dan masyarakat yang tinggal di tepi dan dalam hutan, berita ini ibarat angin Bohorok yang mungkin membuat mereka harus mengungsi.

Sungguh sulit dimengerti argumentasi pemerintah akan mengeluarkan kontrak karya pertambangan baru. Padahal, kontrak-kontrak yang lama dan belum berakhir sudah banyak menimbulkan masalah yang tidak kunjung terselesaikan. Sebut saja kasus Freeport, Nemwont, INCO, Indomuro, Kelian, dan masih banyak lagi. Belum pula proyek tambang yang baru mulai namun sudah menimbulkan keresahan dan protes meluas di kalangan rakyat banyak seperti proyek tambang Toka Tindung (Sulut), Sihayo (Sumut), Martabe-Agincourt (Sumut).

Sedangkan, proyek tambang yang terkatung-katung dan tidak jelas keberlanjutannya tidak pernah dipikirkan lagi oleh departemen ESDM. Tercatat paling tidak ada 3 konsesi tambang bertaraf Kontrak Karya yang saat ini terhenti, yaitu Natarang Mining (Lampung), Pelsart Tambang Kencana (Kalsel), dan Gag Nickel (Papua). Natarang dan Pelsart diduga bangkrut karena tidak ada publikasi sama sekali mengenai pemegang sahamnya, sementara pergerakan sahamnya di pasar modal juga berhenti. Pemerintah mestinya membekukan kontrak-kontrak yang mandek ini dan tidak membiarkannya mengambang daripada menimbulkan potensi konflik lahan dengan masyarakat atau sektor lain seperti Kehutanan dan Pertanian. Ketiganya adalah perusahaan yang tidak diperbolehkan menambang terbuka di hutan lindung menurut Putusan Mahkamah Konstitusi atas Judicial Review UU No 19/2004.

Di sisi lain dalam soal kebijakan masih ada masalah yang belum tuntas soal perijinan tambang dan sekarang sedang dibahas di Pansus DPR tentang RUU Pertambangan Umum dan Batubara (Minerba). Diskusi di DPR berkembang ke arah pergantian rejim Kontrak Karya menjadi perijinan karena dengan begitu posisi pemerintah lebih tinggi dibanding perusahaan. Ini merupakan evaluasi dari kekurangan KK yang menempatkan pemerintah sejajar dengan perusahaan (asing) sehingga pemerintah sering dibuat repot ketika harus memberikan sanksi kepada perusahaan. Pemerintah tidak berani menggugat perusahaan yang melanggar hukum karena takut dibawa ke arbitrase akibat dianggap mencederai isi KK.

Patut diduga, perusahaan-perusahaan tambang multinasional berlomba-lomba melobby pemerintah agar segera mengeluarkan KK supaya mereka terhindar dari kemungkinan berlakunya rejim perijinan yang baru. Saat ini setidaknya ada empat perusahaan yang nampaknya bakal mendapatkan KK generasi VII+. Mereka itu diantaranya Rio Tinto, raksasa pertambangan yang bermarkas di Inggris dan Australia, akan mendapatkan konsesi di Sulawesi Tenggara, berikutnya adalah Southern-Arch Mineral (Indotan) perusahaan Kanada yang sedang melakukan survei di Pulau Sumbawa, serta Austindo Resources dan Straits Resources di Pulau Jawa.

Pemerintah sekali lagi terbukti lebih mendengarkan keluhan para investor tambang dan Negara-negara utara yang menghendaki agar sumber daya mineral Indonesia dieksploitasi habis-habisan. Sebelumnya, pemerintah pernah mengabulkan ‘rengekan’ perusahaan tambang agar merelakan 1 juta hektar hutan lindung dan taman nasional dibuka untuk pertambangan walaupun itu dilakukan secara inkonstitusional dengan mengamandemen UU Kehutanan No 41 tahun 1999. Kabarnya, pemerintah pun sedang didesak untuk mengeluarkan tailing (Lumpur limbah tambang) dari Peraturan tentang Pengelolaan Limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun). Implikasi inisiatif ini sangat serius, tailing yang mengandung racun logam berat akan bebas dibuang ke badan air seperti danau, sungai, dan laut.

KK generasi VII+ jika jadi dikeluarkan akan semakin menambah panjang masalah tumpang tindih lahan yang terjadi selama ini. Tahun 2000, setidaknya ada 150 konsesi tambang yang tumpang tindih dengan 11 juta hektar hutan lindung dan taman nasional di seluruh Indonesia yang belakangan menjadi sengketa antara sektor Pertambangan dan Kehutanan dan diselesaikan di Mahkamah Konstitusi (MK).[1] Namun demikian, Putusan MK tersebut keluar ketika baru 13 konsesi yang waktu itu sudah masuk tahap konstruksi atau produksi. Sementara sebagian besar konsesi lainnya pada waktu itu dalam posisi suspend karena harga komoditi mineral yang belum menguntungkan. Saat ini, dengan momentum naiknya harga emas dan nikel dunia yang membawa keberuntungan bagi banyak industri tambang sepanjang tahun 2005, dipastikan proyek-proyek tersebut akan segera aktif dan menambah hiruk pikuk masalah tumpang tindih lahan. Lahirnya KK Generasi VII+ karenanya akan memperburuk persoalan ini, dan lagi-lagi sektor Kehutanan, Pertanian, Perikanan, dan Pariwisata akan dikalahkan untuk memberi jalan masuk bagi proyek tambang.

Catatan kritis berikutnya adalah perbandingan antara manfaat dan kerugian akibat operasi tambang masih jadi perdebatan serius di semua stakeholder dan belum mencapai kata sepakat. Adanya keinginan kuat untuk merombak KK Freeport adalah contoh bahwa distribusi keuntungan suatu proyek tambang kepada perusahaan dan pemilik sahamnya, pemerintah pusat dan daerah, serta masyarakat tidaklah seimbang. Perusahaan dan para investornya memperoleh sebagian besar keuntungan sementara pemerintah hanya diberi pajak serta royalty 1 persen. Padahal, dampak kerusakan lingkungan serius yang ditinggalkan perusahaan akhirnya menjadi beban bagi pemerintah daerah dan masyarakat local.

Perusahaan tambang juga belum mampu membuktikan bahwa ekonomi tambang memiliki nilai tambah signifikan terhadap perekonomian lokal. Daya serap industri tambang atas angkatan kerja secara nasional baru sebesar 0,04 persen.[2] Kontribusi ini jauh lebih kecil dari pada sektor Kehutanan dan Pertanian serta Manufaktur. Yang sering dijumpai di lokasi pertambangan justru terjadinya pemiskinan masyarakat setempat karena sumber-sumber dan alat produksi ekonominya dirampas atau dirusak oleh operasi tambang. Masyarakat lokal kehilangan sumber penghidupan karena tempat mencari ikan dicemari, sawah dan kebun digusur, serta dilarang masuk ke hutan yang sejak dahulu telah dikelola secara turun temurun.

Bagi pemerintah Indonesia sendiri, yang terpenting saat ini adalah membenahi sektor tambang agar bisa dijalankan tanpa mengorbankan keselamatan rakyat dan lingkungan serta memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian negara. Patut menjadi catatan bahwa minimnya kontribusi sektor tambang disebabkan sebagian besar produksi mineral dieksport dalam bentuk bahan mentah seperti emas, nikel, timah, boksit, dan batubara. Oleh karena itu secara nasional kontribusi sektor tambang terhadap pendapatan negara hanya 4 persen pada tahun 2005.[3] Padahal produksi nasional dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan dari tahun 1994 hingga 2005.

Sebagai contoh, nikel dari PT INCO diekspor dalam bentuk mentah ke negara-negara pembelinya seperti Jepang, Korea, dan negara-negara Eropa. Dengan jalan yang sama, Timah yang dihasilkan PT Freeport hanya diolah menjadi konsentrat di Gresik, sedang proses pemurnian selanjutnya dikirim ke negara-negara industri maju yang merupakan pembelinya. Ini membuktikan bahwa setelah hampir 40 tahun indonesia mengelola sektor tambang ternyata tidak mampu mengembangkan industri hilir berbahan baku mineral yang mantap. Ini yang menyebabkan sektor tambang tidak memberikan value added yang nyata buat ekonomi nasional. Tidak ada penciptaan peluang ekonomi baru dan tidak ada penyerapan tenaga kerja dari industri-industri berbahan dasar mineral.

Hal di atas diperburuk dengan adanya mekanisme proteksionisme negara-negara indsutri maju di Eropa atas barang impor berbahan dasar mineral/logam. Untuk mineral mentah (tidak diolah) rata-rata negara-negara Eropa memberikan pungutan impor nol persen, atau tidak ada sama sekali. Sementara untuk produk logam atau barang setengah jadi dikenakan bea impor hingga belasan persen. Rejim inilah yang mesti dibaca cermat oleh para teknokrat Indonesia bahwa kalau kita hanya mengikuti pesanan negara maju, selamanya Indonesia hanya akan jadi wilayah pengerukan. Tanpa perubahan drastis dan mendasar, kemiskinan dan kerusakan lingkungan akan selamanya menjadi wajah sektor pertambangan kita.***



[1] www.jatam.org

[2] BPS, Juli 2006

[3] BPS Februari 2006 dan Bank Indonesia (www.bi.go.id)

No comments:

just a phase

just a phase

Articles Archive