Wednesday, August 16, 2006

Quo Vadis Konservasi Bahan Tambang?


Pemerintah, dalam hal ini Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mentargetkan adanya wilayah-wilayah Indonesia dijadikan area pencadangan bahan tambang mineral dan batubara. Kebijakan ini akan diusulkan untuk dimuat dalam Rancangan Undang-undang Mineral dan Batubara yang sedang dibahas di DPR.[1] Ide untuk mencadangkan sebagian kekayaan tambang aset nasional menjadi cadangan untuk masa depan sebenarnya bagus. Namun, disayangkan ide ini hanya manis di atas kertas, sementara pelaksanaannya sendiri sangat terlambat dan rawan terjadi penyelewengan di sana-sini.

Mengapa terlambat? Mestinya sejak dulu pemerintah telah mencadangkan area untuk konservasi bahan tambang karena sumber daya yang satu ini tidak dapat diperbarui sehingga pemakaiannya tidak boleh diboroskan untuk saat ini saja. Namun yang terjadi selama hampir empat dasawarsa, bahan mineral diobral habis. Perijinan tambang sangat banyak dan sangat mudah dikeluarkan oleh Departemen ESDM (dulu Dep. Pertambangan dan Energi). Hingga saat ini, tidak kurang dari 800 ijin pertambangan tersebar merata di berbagai pulau di seluruh Nusantara dan luas totalnya mencakup sepertiga luas daratan Indonesia, atau sejumlah 66 juta hektar. Ini adalah tanda bahwa negara telah menghambur-hamburkan sumber daya mineral dengan pemberian ijin yang tanpa kendali.

Pemborosan itu makin kentara dilihat dari pendapatan yang disumbangkan sektor tambang. Selama ini sektor pertambangan hanya menyumbang antara 1 sampai 3 persen APBN, sangat kecil dibandingkan dengan luasannya yang mencapai sepertiga daratan Indonesia. Mengapa demikian? Selama ini produksi mineral mentah dari Indonesia diarahkan untuk memenuhi tujuan ekspor ke negara-negara utara. Eksploitasi yang digenjot habis menyebabkan Indonesia menduduki peringkat kedua penghasil timah terbesar di dunia, menyumbang kebutuhan dunia akan emas sebanyak 6%, perak 2%, tembaga 8%, dan nikel 12%. Bahkan untuk nikel (FeNi) Indonesia mengekspor hampir 100% produksinya untuk pasar internasional.

Ekspor mineral mentah menyebabkan Indonesia tidak menerima banyak profit dari usaha tambang. Negara-negara maju secara tidak adil memberlakukan proteksi impor bahan tambang yang membuat negara-negara berkembang tidak dapat mengembangkan industri hilirnya. Mereka menetapkan bea masuk yang tinggi untuk barang jadi atau setengah jadi berbahan dasar mineral, sementara bahan mentahnya dikenai tarif nol persen.[2] Dengan konstelasi perdagangan internasional sedemikian timpang, sebenarnya Indonesia tidak layak ikut ambil bagian dalam mineral rush yang ujung-ujungnya tetap merugikan negara berkembang. Di sinilah pentingnya konservasi bahan tambang dilakukan sejak dini untuk menghindari pemborosan lewat penjualan bahan tambang secara murah meriah.

Pada sisi lain, konservasi bahan tambang menjadi sulit dilakukan karena kita tidak tahu berapa sebenarnya sisa bahan tambang (mineral) yang masih dimiliki negara dan tidak dikuasai perusahaan asing. Selama ini ESDM tidak pernah mempublikasikan berapa cadangan emas, tembaga, nikel, batubara dan bahan tambang lainnya yang tersisa. Apakah jumlahnya masih cukup signifikan? Atau jangan-jangan sudah tidak ada lagi yang tersisa karena semuanya sudah dikapling oleh konsesi yang ratusan jumlahnya.

Kita perlu mengingat lagi, sejak tahun 1999 hingga kini masih ada 150 perusahaan yang konsesinya berada di Hutan Lindung seluas 11 juta hektar. Ijin-ijin tersebut rata-rata statusnya suspend karena alasan tumpang tindih dengan kawasan hutan dan belum ekonomisnya harga mineral waktu itu. Dapat diasumsikan bahwa deposit mineral yang ada di luar kawasan konservasi dan hutan lindung sudah tidak ada lagi, sehingga yang tersisa adalah kawasan hutan. Jika pemerintah ingin mengkonservasi bahan tambang, mestinya 150 ijin tersebut dibekukan karena secara ekologi resikonya terlalu besar sehingga dengan teknologi yang ada saat ini belum layak dieksploitasi. Lebih baik deposit-deposit itu dicadangkan untuk generasi mendatang dan jika telah ada teknologi yang aman secara lingkungan.

Niatan ESDM ini juga diragukan hanya menjadi lips service alias propaganda belaka. Bagaimana mungkin ESDM menawarkan konsep konservasi sementara pada saat yang sama juga menyiapkan keluarnya satu Kontrak Karya (KK) baru yang rencananya akan dinamai KK Generasi VII+. Ide mengeluarkan KK baru sangat bertolak belakang dengan konsep konservasi bahan tambang. Mengeluarkan KK baru berarti kembali menghambur-hamburkan barang tambang untuk keuntungan yang tidak seberapa dibanding kerusakan lingkungan dan habisnya cadangan mineral untuk masa depan. Oleh karena itu, sangat diragukan retorika ESDM ini diilihami oleh semangat untuk kepentingan bangsa dan rakyat.

Di sisi lain, rencana mengeluarkan KK pada bulan September ini mengkhianati semangat yang sedang dibangun dalam pembahasan RUU Minerba yang ingin melakukan perbaikan kinerja pengelolaan sektor tambang selama ini. Sedangkan berapa jumlah total cadangan mineral kita saja EDSM tidak pernah mempublikasikan (atau jangan-jangan belum pernah menghitung) kenapa akan mengeluarkan KK baru?

Terakhir, konservasi bahan tambang yang dimaksud oleh ESDM ini sebenarnya untuk siapa, untuk rakyat, perusahaan asing, atau untuk siapa? Kita memiliki cukup banyak pengalaman dengan kontradiksi kawasan konservasi. Sebuah kawasan konservasi seperti taman nasional haram untuk dimasuki oleh masyarakat lokal meskipun mereka sudah puluhan tahun tinggal di sekitarnya. Menjadi ironi tatkala perusahaan tambang kemudian dengan mudahnya mendapat rekomendasi pemerintah untuk mengacak-acak kawasan konservasi dengan alasan melakukan survei. Kata konservasi menjadi punya standar ganda; ketat untuk rakyat biasa, tapi bisa dibuat longgar untuk masuknya investasi.

DPR, masyarakat, dan para peneliti perlu jeli membaca istilah Konservasi yang disampaikan jajaran petinggi ESDM. Jangan sampai pola konservasi ala Taman Nasional yang dianut oleh RUU Minerba nantinya, haram ditambang oleh rakyat, tapi sah kalau ditambang oleh multinational mining corporations. Jika ESDM sendiri belum benar-benar kritis mengupas konsep yang diajukannya, bisa jadi ini ‚bisikan’ para mining investor yang melihat kurang bersahabatnya iklim investasi tambang saat ini. Karena itu strategi yang dikedepankan adalah konservasi bahan tambang untuk operasi tambang skala besar yang notabene selalu melibatkan para TNCs pertambangan.



[1] Pemerintah Tetapkan Area Cadangan Bahan Tambang. Bisnis Indonesia, 10 Juli 2006

[2] Investing in Destruction. Oxfam America. 2003

No comments:

just a phase

just a phase

Articles Archive