Tuesday, August 22, 2006

Bougainville

Tambang, Kolonialisme, dan Kerusakan Lingkungan*


Bougainville, adalah sebuah pulau di lautan Pasifik yang memiliki kekayaan sumber daya alam melimpah seperti pada umumnya Negara-negara di wilayah beriklim tropis. Selain kaya akan sumber daya alam hayati, Bougainville memiliki kekayaan bahan tambang luar biasa sehingga menarik minat perusahaan Australia Conzinc Rio Tinto CRA), anak perusahaan Rio Tinto Group yang berbasis di Inggris, mengeksploitasi tembaga sejak 1972. Kisah penjajahan dan penjarahan kekayaan alam Bougainville berakar dari masa kolonialisme bangsa-bangsa Eropa abad 17.

Sejarah Bougainville

Pulau Bougainville merupakan bagian dari Kepulauan Solomon namun akhirnya dijadikan bagian dari negara Papua Nugini (PNG) meskipun rakyatnya secara budaya maupun asal-usul berbeda dengan rakyat Papua Nugini. Rakyat Bougainville lebih dekat secara kultural maupun keturunan dengan penduduk kepulauan Solomon. Bougainville hanya berjarak tidak lebih dari 8 kilometer dari garis pantai negara Kepulauan Solomon namun 500 kilometer jauhnya dari PNG.

Secara historis, penyatuan Bougainville dengan Papua Nugini tidak lebih dari ”perkawinan paksa” yang dilakukan oleh Inggris dan Jerman pada abad ke 19 untuk menyepakati pembagian wilayah jajahan diantara dua negara di kawasan Pasifik. Ketika meletus perang dunia I tahun 1918, Jerman kalah dan kehilangan sebagian besar koloninya di Pasifik yang kemudian jatuh ke pihak Inggris dan sekutunya. Bougainville sendiri ada di bawah kolonialisme Inggris dan Australia.

Penjajahan atas teritori dan rakyat Bougainville dimulai pada abad 19 ketika para penjual budak dari Australia datang ke Bougainville dan membawa orang-orang Bougainville menjadi budak di perkebunan tebu Queensland dan perkebunan kelapa di Fiji dan Samoa. Ketika berlangsung perang dunia II, Bougainville menjadi medan pertempuran antara pasukan Sekutu melawan Jepang. Banyak rakyat Bougainville terbunuh selama perang Sekutu-Jepang. Tapi, setelah perang berakhir Bougainville tetap belum menikmati kemerdekaannya dan kembali harus menjadi koloni Australia yang tidak pernah bertanya kepada rakyat Bougainville apakah mereka ingin menjadi bagian dari Papua Nugini. Rakyat Bougainville selalu mempertanyakan apa hak dan kedaulatan Australia untuk mempermainkan hak dan masa depan rakyat Bougainville.

Eksploitasi tambang

Menurut Havini (1985), penjarahan kekayaan alam pulau Bougainville secara besar-besaran dipelopori oleh CRA, anak perusahaan Cozinc Rio Tinto (Australia). Perusahaan inilah yang membuka tambang tembaga Panguna pada tahun 1972 dan memiliki 53% sahamnya, sementara 20% lainnya dimiliki pemerintah PNG. Namun, sejarah penemuan bahan tambang di Bougainville sebenarnya berawal di tahun 1929 pada saat kolonialisme Australia atas PNG dan Bougainville makin menguat. Pemerintah kolonial Australia memberi hak istimewa kepada para pemburu emas menjelajahi gunung, hutan, dan laut untuk memetakan kekayaan mineral pulau Bougainville. Ini mirip dengan tambang Grasberg di Papua Barat yang ditemukan ketika Indonesia masih di era penjajahan.

Semua emas dan bahan tambang yang dikeruk dari PNG dan Bougainville praktis dibawa keluar dari wilayah itu dan rakyat Bougainville tidak pernah memetik keuntungan sedikit pun darinya. Mereka justru hidup secara agraris dan mampu mencukupi kebutuhannya sendiri. Namun setelah tambang beroperasi, kerusakan lingkungan mulai berdampak pada pertanian mereka.

Kerusakan lingkungan dan penghidupan, membuat warga pulau berjuang menentang perusahaan hingga 17 tahun lamanya. Lewat aksi protes dan lobby, masyarakat Bougainville akhirnya memaksa CRA tutup pada 1989. Namun, Pemerintah Papua Nugini justru mengirimkan tentara bayaran untuk memblokade pulau Bougainville dari dunia luar, termasuk kebutuhan hidup sehari-hari. Memulai kehidupan dari titik nadir, kembali ke alam menjadi pilihan penduduk Bouganiville dibanding menerima kembalinya perusahaan. Mereka justru belajar kembali hidup dari alam, memanfaatkan semua sumber daya yang ada di sekitar untuk memproduksi sendiri bahan makanan, obat-obatan, bahkan pembangkit listrik. Lewat kemampuannya meneruskan hidup di tengah blokade, masyarakat pulau Bougainville mengajarkan tentang adanya sebuah alternatif untuk mengatasi ketergantungan kita pada ekonomi pasar bebas.

Cerita penguasaan bahan tambang pulau Bougainville tidak banyak berbeda dengan operasi pertambangan yang lain. Banyak contoh dimana operasi tambang dimulai dengan penaklukan wilayah serta konflik yang memaksa penduduk setempat mengungsi menjauhi konflik. Sementara, ketika mereka pulang setelah konflik berakhir, tanah-tanahnya sudah dikuasai perusahaan asing.

Selain di Bougainville, hal ini juga terjadi di kepulauan Maluku ketika dua perusahaan tambang asing beroperasi. Dalam Aditjondro (2006) disebutkan konflik antar komunitas di Pulau Halmahera dan Haruku disusul oleh masuknya maskapai-maskapai pertambangan bermodal asing, yaitu Newcrest (Australia) dan Ingold (Kanada). Modus operasi pertambangan yang dikuasai modal asing pada umumnya hanya memberi keuntungan pada si maskapai sedangkan rakyat setempat tetap disisihkan. Hal inilah yang menjadi benih-benih terjadinya konflik akibat direnggutnya kekayaan alam dari masyarakat yang mendiami wilayahnya sejak lama.

Sumber mineral, apakah akan menjadi berkah atau membawa petaka dan memecah belah bangsa? Saat ini semuanya terpulang pada wakil rakyat yang tengah membahas RUU Minerba. Semoga pembahasan RUU ini dilandasi tekad yang luhur dan keberpihakan pada rakyat Indonesia.

Pustaka:

1. Aditjondro (2006). Ketika Petani Angkat Bicara, dengan Suara dan Massa.

2. Havini (1985). Bougainville: The Long Struggle for Freedom.

* Disampaikan pada acara Nonton Film dan Diskusi “Evergreen Island” bersama anggota Pansus RUU Pertambangan Mineral dan Batubara, 23 Agustus 2006

No comments:

just a phase

just a phase

Articles Archive